Apa itu Self-Sabotage? Penyebab, Gejala, & Cara Mengobatinya

Self-sabotage adalah pola pikir atau perilaku menahan atau menghentikan seseorang untuk mencapai suatu tujuan atau impian. Dalam bahasa Indonesia, istilah tersebut dikenal dengan sabotase diri.

 

Sederhananya, perilaku self-sabotage adalah sesuatu yang sengaja dilakukan oleh diri sendiri, sehingga membuat diri tidak mampu mendapatkan atau melakukan suatu hal sesuai dengan harapan. Sering kali hal ini tidak disadari oleh seseorang hingga berdampak negatif terhadap kehidupan profesionalnya.

 

Untuk memahami apa itu self-sabotage atau sabotase diri lebih lengkap, simak informasinya di bawah ini.

 

Apa itu Self-Sabotage (Sabotase Diri)?

 

Self-sabotage adalah tindakan yang disengaja oleh seseorang untuk memperlambat atau mencegah diri sendiri melakukan apa yang diperlukan untuk meraih tujuan. Sabotase diri sering dilakukan secara sadar ataupun tidak sadar dan dapat membuat citra diri menjadi buruk di mata kolega kerja, keluarga, teman, maupun orang-orang di sekitarnya.

 

Pembatasan diri dalam self-sabotage adalah hal yang tidak wajar dilakukan dan bisa terjadi secara terus-menerus. Bahkan terkadang tindakan sabotase diri tersebut dilakukan tanpa alasan yang rasional.

 

Sabotase diri biasanya merupakan bentuk mekanisme koping (penyesuaian) seseorang ketika menghadapi situasi sulit. Sayangnya, bentuk mekanisme tersebut tidak menyelesaikan masalah dan dapat membatasi kemampuan seseorang untuk berkembang dan maju dengan cara yang sehat.

 

Dalam beberapa kasus, self-sabotage yang dibiarkan begitu saja tanpa penanganan yang tepat dapat berdampak buruk bagi kesehatan fisik hingga mental individu tersebut.

 

Penyebab Self-Sabotage

 

Perlu diketahui, sabotase diri bisa terjadi ketika seseorang terpaku terhadap tindakan dari suatu konteks dan mengaplikasikannya pada skenario lain. Jadi, mereka menerapkan suatu mekanisme koping yang terbukti dapat mengatasi masalah tertentu untuk menyelesaikan masalah lainnya. Pola perilaku seperti ini tidaklah sehat dan dapat menimbulkan masalah baru ketika terjadi perubahan situasi.

 

Lantas, apa penyebab self-sabotage? Berikut masing-masing penjelasannya.

 

1. Keluarga Disfungsional

 

Isu self-sabotage biasanya diawali dari keadaan keluarga yang disfungsional. Pola asuh orang tua yang tidak mengayomi dan memperhatikan anak dapat memicu terjadinya sabotase diri. Sebagai contoh, orang tua yang jarang memberikan perhatian kecuali ketika anak marah. Kebiasaan tersebut dapat membuat anak berpikir bahwa marah adalah solusi untuk mendapatkan sesuatu yang diinginkan dan dapat dibawa hingga anak beranjak dewasa.

2. Pernah Berada dalam Hubungan Toxic

 

Pengalaman buruk dalam hubungan percintaan sebelumnya juga dapat memengaruhi kemampuan seseorang dalam berkomunikasi di hubungan yang baru. Ketika terjadi konflik dengan pasangan saat ini, seseorang dengan isu sabotase diri akan cenderung diam dan menahan perasaan untuk menghindari pertengkaran.

 

Selain itu, seseorang yang pernah berada dalam toxic relationship dan sering kali mengalami hinaan atau direndahkan oleh pasangannya, pada umumnya akan berubah menjadi seseorang yang lebih sensitif dan berpotensi melakukan hal-hal yang dapat merusak hubungannya, seperti selingkuh atau memutuskan hubungan tanpa alasan jelas.

 

3. Disonansi Kognitif

 

Self-sabotage adalah pola pikir atau tindakan yang bisa disebabkan oleh disonansi kognitif atau konflik mental di mana keyakinan, sikap, dan perilaku seseorang berlawanan atau tidak selaras dengan nilai atau keyakinan yang dipegang. Sebagai contoh, seorang perokok tetap merokok meskipun ia tahu bahwa merokok dapat berbahaya bagi kesehatannya.

 

4. Perasaan Insecure

 

Orang yang insecure sering kali melakukan sabotase diri secara tidak sadar. Ketika sudah dekat dengan impiannya, mereka akan mundur secara perlahan karena merasa tidak pantas atau bahkan merasa tidak nyaman untuk mendapatkan kesuksesan tersebut.

 

5. Takut akan Kegagalan

 

Perasaan takut akan kegagalan sering kali membuat seseorang menyabotase dirinya sendiri untuk mempertahankan zona nyamannya (menghindari hal-hal baru). Dengan terus berada dalam zona nyaman, mereka menganggap dapat menghindari kegagalan.

 

6. Ingin Mengontrol Situasi

 

Self-sabotage adalah perilaku yang juga bisa muncul dari keinginan seseorang untuk mengontrol situasi. Sebagai contoh, mahasiswa yang menunda pengerjaan skripsi, dan baru menyelesaikannya di hari-hari terakhir deadline. Tindakan sabotase diri ini seolah-olah memberikan kontrol ke tangan individu tersebut. Padahal, sistem akademiklah yang menentukan waktu kapan mahasiswa harus menyelesaikan skripsi.

 

Contoh Sabotase Diri

 

Self-sabotage adalah pola perilaku yang bersifat destruktif dan dapat menyebabkan kerugian pada diri sendiri. Adapun beberapa contoh sabotase diri yang biasanya ditemukan dalam kehidupan sehari-hari adalah:

 

  • Menyalahkan orang lain saat berada di situasi yang tidak menguntungkan.

  • Kesulitan mengatur waktu untuk menyelesaikan pekerjaan.

  • Memilih untuk tetap berhubungan dengan pasangan yang toxic.

  • Sering kali merendahkan diri karena merasa tidak berharga.

  • Dalam hal pekerjaan, seseorang sengaja menyabotase dirinya dengan memilih untuk menjabat di posisi yang sama alih-alih berusaha naik ke jabatan yang lebih tinggi karena takut akan kegagalan.

  • Beralih ke penyalahgunaan obat-obatan dan minuman keras untuk menenangkan diri.

 

Bahaya Self-Sabotage

 

Jika dilakukan secara terus-menerus, berikut sejumlah bahaya self-sabotage yang mungkin terjadi dalam kehidupan seseorang:

 

  • Karier atau pencapaian akademik tidak bisa berkembang.

  • Pencapaian kinerja menurun karena sering kali menunda pekerjaan.

  • Rusaknya hubungan karena sering bertengkar dengan pasangan.

  • Mudah mengalami stres dan sulit tidur di malam hari (insomnia).

 

Cara Mengatasi Self-Sabotage

 

Ada beberapa hal yang bisa dilakukan seseorang untuk mengatasi self-sabotage, seperti:

 

  • Melakukan refleksi diri dan mencari tahu akar permasalahan.

  • Mengurangi sikap perfeksionis di aspek tertentu.

  • Menggunakan energi untuk hal-hal yang lebih positif.

  • Hindari menunda pekerjaan.

  • Membuat suatu komitmen atau tekad dengan diri sendiri untuk keluar dari situasi self-sabotage ini.

  • Meminta bantuan dan dukungan dari orang sekitar yang bisa dipercaya.

 

Selain itu, terapi psikologis juga bisa dilakukan untuk mengatasi self-sabotage yang menyebabkan seseorang kesulitan dalam mengendalikan emosi dan perilakunya. Di mana, orang dengan tendensi untuk melakukan sabotase diri cenderung menyalahgunakan obat-obatan terlarang, sulit mengontrol nafsu makan, mudah marah, hingga berisiko melakukan self-harm. Adapun beberapa terapi yang dimaksud adalah:

 

  • Cognitive behavioral therapy (CBT): Terapi yang digunakan untuk menghilangkan pola pikir negatif dan meningkatkan kualitas hidup penderita secara keseluruhan.

  • Dialectical behavior therapy (DBT): Terapi yang digunakan untuk membantu mengatasi masalah emosi yang intens dengan melatih diri dalam mengontrol perilaku impulsif.