Apa itu Re-Modeling Tulang

Kekuatan tulang adalah jumlah beban maksimal yang dapat ditolerir tulang sebelum terjadi kerusakan struktur. Faktor yang berperan dalam menentukan kekuatan tulang adalah geometri, mikroarsitektur, dan komponen jaringan tulang seperti dijelaskan pada gambar (1-7).

Komponen Jaringan Tulang

Bahan pembentuk tulang yang dominan adalah komponen matriks organik dan sebagian kecil dibentuk oleh matriks inorganik. Bahan organik dibentuk oleh kolagen tipe I, sedangkan bahan inorganik dibentuk oleh protein non-kolagen dan proteoglikan yang penting dalam proses biomineralisasi. Kedua bahan ini memungkinkan tulang menyerap beban melalui perubahan yang elastik dan menahan beban berlebih sebelum terjadi fraktur. Fase mineral terutama berfungsi dalam menahan deformitas (stiffness), sedangkan serat kolagen berperan menyerap energi (toughness) (7).

Kolagen tipe I sebagai komponen matriks organik disintesis oleh osteoblas dalam proses pembentukan tulang yang diikuti oleh sekresi ke matriks ekstraselular. Prokolagen dipecah menjadi N- dan C-terminals memungkinkan penyusunan menjadi benang kolagen yang selanjutnya distabilkan melalui proses modifikasi post-translasi yang membentuk cross-links intermolekuler dan interfibrillar. Glikasi adalah proses modifikasi post-translasi yang paling sering terjadi melalui reaksi gula aldose atau ketose dan metabolik perantara lain yang bisa bereaksi dengan gugus amino dari lysin, hydroxylysin, atar residu arginin membentuk cross-linking protein. Cross-links abnormal dibentuk melalui proses enzimatik, salah satunya dibentuk melalui pengaruh advanced glycation end products (AGEs) menghasilkan pentosidine. AGEs sebagai penyebab cross-links abnormal merupakan kontributor mayor peningkatan kerapuhan tulang pada pasien dengan diabetes, khususnya pada DMT2 (7). Proses cross-linking non enzimatik oleh glikasi berhubungan dengan perburukan komponen mekanis tulang pada studi invitro (4). Wanita dengan DMT2 dengan tingkat ekskresi pentosidine urin yang lebih tinggi dibanding kontrol non-DM memiliki risiko mengalami fraktur vertebra yang lebih tinggi pula (8).

Mineralisasi berperan sebagai komponen inorganik penting dalam menentukan kekuatan tulang. Pembentukan tulang yang baru terdiri dari proses mineralisasi primer diperankan oleh osteoblas yang mensekresikan matriks organik yang selanjutnya menjadi template mineralisasi primordial. Kemudian tulang mengalami proses mineralisasi sekunder melalui peningkatan jumlah dan ukuran kristal mineral. Ukuran kristal hydroxyapatite berpengaruh pada kekuatan tulang. Pada manusia dewasa dengan tulang yang lebih kuat didapatkan heterogenitas ukuran kristal tulang yang lebih besar dibandingkan dengan anak-anak. Kristal tulang yang lama yang berukuran besar akan diresorpsi dan digantikan dengan kristal yang lebih kecil sehingga akan meningkatkan heterogenitas tulang dan kekuatan tulang. Pertumbuhan kristal yang terlalu berlebih dapat menyebabkan kerusakan pada serat kolagen dan mengakibatkan tulang menjadi rapuh. Derajat pengkristalan juga berpengaruh terhadap kualitas tulang. Semakin tinggi derajat pengkristalan akan meningkatkan kekuatan dan kekakuan (stiffness) dari tulang. Jika bone turnover terlalu cepat, proses mineralisasi sekunder tidak berjalan sempurna karena tidak cukup waktu dalam kristalisasi yang sempurna (7). Turnover yang terlalu rendah mengakibatkan tulang menjadi lemah, sedangkan turnover yang berlebih membuat tulang manjadi rapuh (brittle) (1,3,5,7).

Tulang akan mengalami perubahan secara dinamis sepanjang hidup manusia, mulai dari pencapaian puncak massa tulang, kemudian menetap pada dekade 2 hingga 3. Tulang trabekula dan kortikal akan mengalami penurunan dari segi kualitas dan kuantitas diatas dekade ke 4 (7). Proses dinamis pembentukan tulang ini dapat dilihat pada gambar 2.  Kekuatan tulang dipertahankan melalui proses remodeling tulang yang diartikan sebagai pergantian secara berkesinambungan dari komponen tulang lama menjadi tulang yang baru. Sel tulang seperti osteosit, osteoklas, dan osteoblas berperan seperti orkestra dalam menjaga kualitas tulang melalui proses remodeling. Proses ini melibatkan resorpsi tulang oleh osteoklas dan pembentukan komponen tulang baru oleh osteoblas (2,7). Osteosit berperan secara fundamental dalam mengatur bone remodeling. Apoptosis dari osteosit akan mengaktifkan osteoklas. Aktivasi osteoklas akan menyebabkan berkurangnya sekresi transforming growth factor-? (TGF- ?), peningkatan reseptor activator of nuclear factor kappa-B ligand (RANK-L) dan sekresi macrophage colony stimulating factor (M-CSF), serta pembentukan apoptotic bodies (4). Kerusakan matriks tulang oleh apoptosis osteosit menghasilkan sinyal yang akan merekrut osteoklas dan meningkatkan remodeling. Kematian osteosit yang berlebih akan meningkatkan remodeling tulang melalui peningkatan resorpsi tulang yang akan meningkatkan cortical bone porosity dan mengurangi kekuatan tulang. Osteosit juga mengatur pembentukan tulang melalui perekrutan osteoblas. Sinyal mekanik seperti aliran cairan intertisial atau tekanan yang berlebih dan pelepasan molekul sinyal seperti nitrix oxide (NO), prostaglandin, sclerostin, akan memicu aktivitas osteoblas. Osteosit juga menghasilkan protein yang berperan dalam mineralisasi tulang seperti small integrin-binding ligand N-linked glycoprotein family (SIBLING), matrix extracellular phosphoglycoprotein (MEPE), dentin matrixprotein (DMP-1) (4,7).

Di dalam tulang yang mengalami osteoporosis akan ditemukan struktur padat dan rongga tulang berkurang. Penipisan dinding luar tulang   lebih nyata dan  keadaan  ini  meningkatkan risiko  fraktur.  Hilangnya  massa tulang  juga tampak pada tulang berongga. Aktivitas remodeling tulang ini melibatkan faktor sistemik dan  faktor  lokal.  Dalam proses  remodeling tulang atau bone turnover,  intinya adalah terjadinya pergerakan ion kalsium. Ion kalsium yang berada dalam osteoklas akan dilepaskan kemudian   oleh  osteoblas   akan  digunakan  sebagai   bahan  baku  tulang  di  dalam osteocyte dan pada akhirnya berperan dalam pembentukan tulang baru. Artinya metabolisme  kalsium   inilah   yang   mempunyai   peranan  dominan   dalam   proses pembentukan tulang. Semoga informasi yang diberikan dapat bermanfaat. Salam Sehat

 

Referensi :

Wongdee K, Charoenphandhu N. Osteoporosis in diabetes mellitus: possible cellular and molecular mechanism. World J Diabetes. 2011; 2(3): 41-48.

Roy B. Biomoleculer basis of the role of diabetes mellitus in osteoporosis and bone fractures. World J Diabetes. 2013; 15 (4):101-13.

Kazemi SM, Qoreishy M, Keipourfard A, Sajjadi MM, Shokraneh S. Effects of hip geometry on fracture patterns of proximal femur. Arch Bone Jt Surg. 2016;4(3):248-52.

Fonseca H, Moreira-Goncalves D, Coriolano HJA, Duarte JA. Bone quality: the determinants of bone strength and fragility. Sports Med. 2014;44:37-53.

Schwartz AV, Garnero P, Hillier TA, Sellmeyer DE, Strotmeyer ES, Feingold KR, et al. Pentosidine and increased fracture risk in older adults with type 2 diabetes. J Clin Endocrinol Metab. 2009; 94(7): 2380-86.

Bala Y, Zebaze R, Zadeh AQ, Atkinson AJ, Luliano S, Peterson JM, et al. Cortical porosity identifies women with osteopenia at increased risk for forearm fractures. J Bone Miner Res. 2014; 29(6): 1356-62.

Fischer L, Valentinitsch A, Franco MD, Schueller-Weidekamm C, Kienzl D, Gross T, et al. High-resolution peripheral quantitative CT imaging: cortical porosity, poor trabecular bone michroarchitecture, and low bone strenght in lung transplant recipients. Radiology. 2015; 274(2): 473-81.