Apa Itu Helicopter Parenting

Menjadi orang tua sudah pasti tidak terlepas dari pengasuhan terhadap anak yang sering disebut dengan parenting.  Tentunya setiap orang tua memiliki gaya parenting yang berbeda yang dianggap paling cocok untuk diterapakan.  Bisa jadi orang tua yang satu merasa pola asuh yang mereka anut efektif, sementara orang tua lain berpendapat sebaliknya dan merasa pola lain yang mereka praktikkanlah yang lebih efektif.  Bukan mustahil juga jika ayah dan bunda punya pandangan yang berbeda dalam gaya parenting.

Apapun gaya parenting yang diterapkan orang tua, pastinya mereka menginginkan yang terbaik buat Putra Putrinya.  Tidak jarang orang tua memiliki ekspektasi terlalu tinggi terutama terhadap prestasi anak, sehingga mereka berpikir bahwa cara terbaik untuk mewujudkannya adalah dengan cara memegang kendali penuh.  Orang tua menjadi egois dan cenderung bersikap berlebihan jika anak melakukan kesalahan, mereka berfikir jika anak-anak tidak sempurna maka mereka akan gagal dalam hidup.  Pada akhirnya anak-anak hanya memiliki sedikit atau bahkan tidak memiliki kendali atas diri dan aktivitas harian mereka.  Pola asuh ketika orang tua terus membayangi anak dengan berupaya mengendalikan, memantau, dan mencampuri kehidupan anak inilah yang disebut helicopter parents.  Dengan kata lain, helicopter parenting adalah gaya pengasuhan anak yang hiperprotektif, sehingga orang tua selalu berupaya terlibat dalam banyak aspek kehidupan anak.  Umumnya pola pengasuhan ini dilandasi kekhawatiran dan ketakutan berlebih orang tua terhadap sang buah hati.  Sejatinya istilah helicopter parenting ini semakin populer semenjak tahun 2011, hingga masuk kamus bahasa Inggris dengan definisi: orang tua yang terlalu terlibat dalam kehidupan anaknya.

Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa keterlibatan orang tua dalam kehidupan anak memang penting, namun keterlibatan itu tentunya juga ada batasnya yaa Sobat Sehat.  Sudah menjadi hal yang alamiah, jika orang tua ingin melindungi anak dari segala ancaman, namun tanpa disadari sikap itu bisa berbuah masalah ketika dipraktikkan secara berlebihan.  Karena itulah pola asuh seperti helicopter parenting tidak disarankan karena dapat berdampak pada tumbuh kembang anak baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang, yang dapat menumbuhkan anak dengan kepribadian seperti:

  • Kurang percaya diri
  • Kurang mampu mengelola penyebab stres dalam hidup
  • Tingkat kecemasan dan depresi lebih tinggi
  • Kurang berempati
  • Kurang bisa bersikap sosial
  • Lebih berisiko mengonsumsi obat resep dokter dan menyalahgunakan obat-obatan terlarang
  • Punya masalah emosional
  • Lebih mudah merasa frustrasi
  • Selalu menuntut keinginannya terpenuhi

 

Ade Dian Komala, M.Psi., Psikolog Klinis Anak dan Remaja Primaya Evasari Hospital mengatakan, secara umum ada empat gaya parenting yang lazim dipraktikkan orang tua, yakni:

  • Otoriter (komunikasi satu arah dari orang tua, fokus pada ketaatan, disiplin keras)
  • Otoritatif (suportif dan komunikatif)
  • Permisif (maklum pada sikap anak, tidak memaksakan aturan)
  • Acuh tak acuh (kurang memperhatikan anak)

Menurut Ade, dari keempat pola asuh tersebut banyak pakar berpendapat bahwa gaya parenting otoritatif adalah yang paling baik.  Sejumlah studi mendapati orang tua otoritatif lebih mungkin memiliki anak dengan tingkat kepercayaan diri tinggi dan meraih kesuksesan akademis.  Anak yang dibesarkan dengan pola asuh otoritatif juga punya keterampilan sosial lebih baik dan lebih mampu menyelesaikan masalah dalam hidup.

Penting bagi orang tua sesekali melakukan instrospeksi dan evaluasi terhadap pola asuh yang sudah diterapkan pada anak, jangan sampai terjebak dalam helicopter parenting.  Sebelum terlambat menyadarinya, berikut ini ada beberapa hal yang harus Ayah/Bunda lakukan, antara lain:

  1. Biasakan sejak kecil, anak dapat menghadapi tantangan dan kegagalan sendiri agar kekuatan mentalnya terbangun.  Jika orang tua terbiasa mengatur semuanya hingga segalanya menjadi mudah bagi anak, maka anak akan kaget ketika menemui permasalahan di masa dewasanya kelak.   Menghadapi kegagalan dan tantangan adalah hal yang penting bagi anak untuk bisa berkembang dan mempelajari kemampuan baru.
  2. Membiarkan anak berusaha sendiri, biarkan anak mengetahui bagaimana rasanya kecewa. Ketika anak mengalami kegagalan atau dalam masalah, bantu mereka menghadapinya tanpa membuat keputusan besar atau melakukan sesuatu di luar kehendak anak.
  3. Ajarkan dan biarkan anak melakukan pekerjaan-pekerjaan yang bisa ia lakukan agar kelak ia bisa mandiri.

Seperti itulah seharusnya peran dan partisipasi orang tua dalam mendidik anak, dengan harapan dapat membentuk buah hati Ayah/Bunda tumbuh dengan kepribadian yang percaya diri dan dapat diandalkan.