Apa itu Dispraksia? Penyebab, Gejala, & Cara Mengobatinya

Dispraksia adalah kondisi neurologis yang memengaruhi kemampuan tubuh dalam mengatur koordinasi dan gerakan motorik. Kondisi ini dapat menyebabkan penderitanya kesulitan dalam merencanakan, mengorganisir, dan melakukan gerakan yang terkoordinasi, terutama gerakan yang kompleks.

 

Mari ketahui lebih lanjut tentang penyebab, gejala, dan penanganan dispraksia dalam ulasan berikut ini.

 

Apa itu Dispraksia?

 

Dispraksia adalah kondisi yang memengaruhi gerakan serta koordinasi tubuh. Kondisi ini dikenal juga sebagai gangguan koordinasi perkembangan. Dispraksia terjadi akibat adanya gangguan pada sel saraf otak yang mengontrol pergerakan otot (neuron motorik), sehingga otak sulit untuk memproses instruksi agar tubuh bergerak.

 

Dispraksia pada anak-anak dapat menyebabkan mereka kesulitan untuk merencanakan, memikirkan, dan mengontrol gerakan. Akibatnya, penderita kondisi ini akan merasa kesulitan dalam melakukan aktivitas fisik sehari-hari, seperti berjalan, lari, lompat, menulis, atau memegang suatu benda.

 

Selain berpengaruh pada gerakan, dispraksia juga dapat memengaruhi cara bicara , perilaku dan emosi, serta kemampuan akademis penderitanya. Meski sekilas mirip dengan cerebral palsy, namun dispraksia tidak memengaruhi fungsi kognitif atau kecerdasan penderitanya.

 

Jenis-Jenis Dispraksia

 

Berdasarkan gangguan gerakannya, dispraksia terbagi menjadi beberapa jenis, di antaranya:

 

  • Dispraksia ideational: Gangguan dalam melakukan gerakan yang terstruktur dan berurutan.
  • Dispraksia constructional: Gangguan dalam memahami bentuk bangun ruang, sehingga kerap merasa kesulitan dalam menyusun balok atau membuat gambar geometris.
  • Dispraksia ideomotor: Gangguan dalam melakukan gerakan satu tahap, misalnya bertepuk tangan.
  • Dispraksia oromotor: Gangguan dalam gerakan otot yang digunakan untuk berbicara, sehingga kalimat yang diucapkan sulit dipahami dan tidak terdengar jelas.

 

Faktor Penyebab Dispraksia

 

Penyebab dispraksia adalah gangguan pada sel saraf yang bertugas menyampaikan sinyal dari otak ke otot-otot anggota gerak tubuh. Namun, hingga kini belum diketahui secara pasti apa pemicu gangguan pada sel saraf tersebut.

 

Meski begitu, beberapa faktor yang diduga dapat meningkatkan risiko anak mengalami dispraksia adalah sebagai berikut:

 

  • Memiliki keluarga dengan riwayat gangguan koordinasi perkembangan.
  • Kelahiran prematur (di bawah usia kehamilan 37 minggu).
  • Lahir dengan kondisi BBLR (berat bayi lahir rendah).
  • Ibu sering mengonsumsi alkohol atau menyalahgunakan obat-obatan selama masa kehamilan.

 

Gejala Dispraksia

 

Gejala dispraksia pada anak-anak, remaja, dan orang dewasa berbeda. Berikut masing-masing penjelasannya.

 

1. Gejala Dispraksia pada Bayi di Bawah Usia 3 Tahun

 

Tanda-tanda dispraksia pada bayi di bawah usia 3 tahun di antaranya kesulitan melakukan gerakan sederhana, seperti berdiri, duduk, dan berjalan. Mereka juga cenderung lebih susah untuk dilatih buang air kecil atau buang air besar sendiri.

 

Menjelang usia 2–3 tahun, biasanya bayi sudah mulai bisa mengucapkan beberapa kata. Namun, pada kondisi ini, mereka sulit untuk berbicara atau mengulang kata-kata yang diucapkan oleh orang lain. Mereka juga cenderung berbicara sangat pelan, lambat menjawab, mempunyai kosakata yang sangat terbatas, dan lain-lain.

 

2. Gejala Dispraksia pada Anak di Atas Usia 3 Tahun

 

Dispraksia pada anak yang sudah berusia di atas 3 tahun memiliki beberapa gejala sebagai berikut:

 

  • Kesulitan melakukan gerakan yang berkaitan dengan motorik halus, seperti menulis dan mengancingkan baju.
  • Sulit memproses kata-kata yang diterimanya.
  • Ceroboh dan mudah lupa.
  • Sulit berkonsentrasi.
  • Sulit memahami hal-hal baru atau kesulitan dalam belajar, menggambar, menggunting, dan sebagainya.
  • Kesulitan melakukan gerakan motorik kasar, seperti menendang atau menangkap bola, melompat, dan sebagainya.

 

3. Gejala Dispraksia pada Remaja

 

Pada usia remaja, gejala-gejala dispraksia adalah sebagai berikut:

 

  • Hanya bisa belajar dengan optimal secara privat.
  • Cenderung menghindari aktivitas olahraga.
  • Tidak mampu mengingat dan mengikuti perintah.
  • Kesulitan dalam menulis.
  • Kesulitan memahami mata pelajaran matematika.

 

4. Gejala Dispraksia pada Orang Dewasa

 

Sementara itu, beberapa gejala dispraksia yang terjadi pada orang dewasa, antara lain:

 

  • Kesusahan dalam melakukan aktivitas dasar, seperti menulis atau menggambar.
  • Sering merasa lelah serta postur tubuh yang tidak ideal.
  • Cara berbicara tidak jelas.
  • Gerakan mata tidak terkoordinasi.
  • Kesulitan mengontrol koordinasi kedua sisi tubuh.
  • Sering tersandung atau terjatuh.
  • Tidak peka terhadap sinyal nonverbal.
  • Mengalami gangguan tidur.
  • Kesulitan menyusun sebuah ide atau rencana.
  • Memiliki kepercayaan diri yang rendah dan mudah frustasi.

 

Diagnosis Dispraksia

 

Diagnosis dispraksia pada anak biasanya melibatkan kerja sama tim multidisiplin seperti dokter anak, ahli terapi okupasi, dan psikolog klinis. Sebelum menegakkan diagnosis, mereka akan melakukan pemeriksaan riwayat pertumbuhan dan perkembangan anak, perkembangan kemampuan intelektual, hingga kemampuan motoriknya.

 

Kemudian, akan dilakukan evaluasi seputar keseimbangan tubuh, kepekaan sentuhan, serta aktivitas mendasar pada anak, seperti berjalan, menulis, berpakaian, menggambar, mengikat tali sepatu, dan lain-lain. Hal ini bertujuan untuk memastikan apakah gejala yang muncul disebabkan oleh dispraksia atau kondisi medis lainnya.

 

Penanganan Dispraksia

 

Dispraksia adalah kondisi yang akan berlangsung seumur hidup. Namun, ada berbagai terapi yang bisa dilakukan untuk membantu penderitanya lebih mudah beradaptasi dalam melakukan aktivitas sehari-hari secara normal.

 

Beberapa pilihan terapi untuk anak dispraksia adalah sebagai berikut:

 

  • Terapi bicara: Terapi ini bertujuan untuk melatih keterampilan anak dalam berkomunikasi, sehingga bisa berbicara lebih jelas.
  • Terapi okupasi: Terapi ini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan anak melakukan suatu aktivitas dasar, seperti menggambar dan menulis.
  • Terapi motor perseptual: Tujuannya untuk meningkatkan keterampilan gerakan, visual, bahasa, dan cara memahami orang lain.

 

Sementara itu, beberapa upaya yang bisa dilakukan orang tua di rumah sebagai langkah terapi dispraksia pada anak, antara lain:

 

  • Mengajak anak bermain puzzle untuk meningkatkan kemampuan persepsi visualnya.
  • Sering berlatih lempar bola untuk membantu meningkatkan koordinasi gerak tangan dan mata.
  • Memotivasi anak agar lebih sering menulis dan menggambar menggunakan beberapa alat tulis.
  • Mengajak anak melakukan aktivitas fisik ringan bersama secara rutin.

 

Itulah penjelasan seputar dispraksia pada anak atau gangguan koordinasi perkembangan yang perlu mendapatkan penanganan dengan segera agar anak bisa melakukan aktivitas lebih baik dalam kehidupan sehari-hari.