Apa Itu Cacat Kusta

Kusta sebagai salah satu penyakit menular yang menimbulkan masalah yang sangat kompleks. Masalah yang dimaksud bukan hanya dari segi medis tetapi meluas hingga masalah sosial, ekonomi, dan budaya karena Kusta sampai saat ini masih merupakan stigma di masyarakat, keluarga, termasuk sebagian petugas kesehatan. Hal ini disebabkan masih kurangnya pengetahuan atau pengertian, kepercayaan yang keliru terhadap kusta dan kecacatan yang ditimbulkannya.

Kusta adalah penyakit menular kronis yang sudah ada sejak lama, yang disebabkan oleh sejenis bakteri yang disebut Mycobacterium leprae. Penyakit ini menyerang kulit, saraf tepi, mukosa saluran pernapasan bagian atas, dan mata. Kusta dapat disembuhkan dan pengobatan pada tahap awal dan dapat mencegah kecacatan.

Angka penderita kusta di Indonesia telah menurun dari 5,2 per 10.000 penduduk pada tahun 1981 menjadi 0,9 per 10.000 penduduk pada tahun 2000. Namun sejak tahun 2001 sampai sekarang, situasi epidemiologi kusta di Indonesia statis dengan angka penemuan penderita kusta baru berada pada kisaran 17.000-20.000 penderita kusta baru per tahunnya dan terjadi peningkatan tren penderita kusta dengan kecacatan tingkat 2, dengan proporsi di atas 10%.

Gejala kusta terutama mempengaruhi kulit, saraf, dan selaput lendir (area yang lembut dan lembab tepat di dalam bukaan tubuh). Penyakit ini dapat menyebabkan gejala kulit seperti bercak kulit yang berubah warna, biasanya rata, yang mungkin mati rasa dan terlihat pudar (lebih terang dari kulit sekitar) mati rasa pada area kulit yang terkena. Gejala tersebut apabila tidak diobati akan menyebabkan kecacatan seperti:

  1. Kelumpuhan dan kelumpuhan tangan dan kaki
  2. Pemendekan jari kaki dan jari
  3. Ulkus kronis yang tidak sembuh-sembuh di bagian bawah kaki
  4. Kebutaan
  5. Kehilangan alis
  6. Cacat hidung
  7. Nyeri pada saraf
  8. Kemerahan dan rasa sakit di sekitar area yang terkena
  9. Sensasi terbakar di kulit

Berdasarkan pedoman Penanggulangan Kusta oleh Kementerian Kesehatan RI, upaya pencegahan cacat kusta dapat dilakukan dengan beberapa aspek seperti:

  1. Penemuan dini penderita kusta sebelum terjadinya kecacatan yang dilakukan dengan cara active case finding (penemuan penderita kusta secara aktif).
  2. Pengobatan penderita kusta dengan MDT sampai dinyatakan selesai tahap pengobatan. Dengan memberikan MDT sesuai regimen WHO maka dapat menghindari risiko penularan dan mengurangi resiko kecacatan.
  3. Deteksi dini adanya reaksi kusta dengan rutin melalukan pemeriksaan ke fasilitas kesehatan untuk dilakukan pemeriksaan fungsi saraf.

Pengobatan MDT dapat membunuh bakteri Kusta, tetapi cacat pada mata, tangan atau kaki yang terlanjur terjadi akan tetap ada seumur hidupnya, sehingga diperlukan perawatan diri secara kontinu agar kecacatan tidak bertambah berat. Perawatan diri pada mata, tangan dan kaki dilakukan oleh penderita kusta seumur hidup dengan prinsip 3 M yaitu Memeriksa, Merawat, dan Melindungi.

Penderita Kusta yang telah dinyatakan selesai pengobatan harus tetap dilakukan pemantauan oleh petugas kesehatan untuk menghindari reaksi kusta yang dapat menyebabkan kecacatan.

 

Referensi:

WHO. Guidelines for the Diagnosis, Treatment and Prevention of Leprosy. WHO; 2018.

Kementrian Kesehatan RI. Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 11 Tahun 2019 Tentang Penaggualangan Kusta. Kementrian Kesehatan RI; 2019.

CDC. Hansen’s Disease (Leprosy) [Internet]. CDC. 2017 [dikutip 24 Maret 2023]. Tersedia pada: https://www.cdc.gov/leprosy/about/about.html

WHO. Leprosy [Internet]. WHO. 2023 [dikutip 24 Maret 2023]. Tersedia pada: https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/leprosy

Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit dan Penyehatan lingkungan Kementerian Kesehatan RI. Pedoman Nasional Program Pengendalian Penyakit Lepra. Kementrian Kesehatan RI; 2012.