Apa Itu Altitude Sickness

Penyakit ketinggian atau altitude sickness adalah kondisi medis yang terjadi ketika seseorang berada di ketinggian yang tinggi, biasanya di atas 2.500 meter di atas permukaan laut. Penyakit ini karena kurangnya oksigen yang cukup di udara yang tipis di ketinggian tersebut. Kondisi ini dapat memengaruhi siapa saja yang naik ke ketinggian yang tinggi, tidak peduli apakah mereka sudah terbiasa dengan ketinggian atau tidak. Kondisi ini dapat terjadi pada siapa saja, bahkan mereka yang sebelumnya telah naik ke ketinggian yang sama tanpa ada masalah pun memiliki peluang terjadinya altitude sickness. Oleh karena itu, sangat penting sekali untuk mencegah altitude sickness terjadi terutama ketika melakukan pendakian gunung. Kamu dapat membaca artikel mengenai pencegahan terjadinya altitude sickness ketika hendak mendaki gunung untuk dapat mengetahui lebih lanjut, sehingga kejadian altitude sickness dapat diminimalisir. Beberapa gejalanya adalah sulit tidur, sesak napas, dan sakit kepala. Altitude sickness atau mountain sickness terjadi ketika tubuh tidak mendapatkan cukup waktu untuk beradaptasi dengan perubahan tekanan udara dan kadar oksigen di ketinggian. Akibatnya, muncul gangguan pada sistem saraf, otot, paru-paru, dan jantung.

Jenis Altitude Sickness

Berdasarkan jenisnya, altitude sickness terbagi menjadi 3 (tiga) yaitu :

1.      Acute Mountain Sickness (AMS), yaitu bentuk altitude sickness yang paling ringan dan paling sering terjadi.

2.      High-Altitude Cerebral Edema (HACE), yaitu penumpukan cairan di otak yang menyebabkan otak membengkak dan tidak berfungsi normal.

3.      High-Altitude Pulmonary Edema (HAPE), yaitu penumpukan cairan di paru yang menyebabkan gangguan fungsi organ tersebut. Edema paru ini bisa berkembang dari HACE atau terjadi dengan sendirinya.

Penyebab Altitude Sickness

Altitude sickness terjadi ketika seseorang berada di ketinggian lebih dari 3.000 mdpl. Pada ketinggian tersebut, tekanan udara makin menurun dan kadar oksigen makin berkurang. Bagi orang yang tidak terbiasa berada di ketinggian, tubuhnya perlu waktu lebih lama untuk beradaptasi dengan kondisi tersebut.

Beberapa kondisi yang dapat meningkatkan risiko seseorang mengalami altitude sickness adalah :

1.      Tinggal di dataran rendah.

2.      Pernah mengalami altitude sickness sebelumnya.

3.      Mendaki terlalu cepat (lebih dari 300 meter per hari).

4.      Jalur pendakian yang sulit dan membutuhkan banyak energy.

5.      Gangguan di jantung, paru, atau sistem saraf.

Gejala Altitude Sickness

Beberapa gejala yang umum terjadi akibat altitude sickness adalah :

1.      Sulit tidur

2.      Kelelahan

3.      Mual dan muntah

4.      Sakit kepala

5.      Jantung berdebar

6.      Sesak napas

Pada kasus yang parah, altitude sickness bisa menyebabkan sejumlah gejala berikut :

1.      Kulit membiru (sianosis)

2.      Dada terasa seperti ditekan

3.      Batuk berdarah

4.      Sulit untuk berjalan

5.      Linglung dan mudah marah

6.      Penurunan kesadaran

Pemeriksaan Altitute Sickness

Orang yang mengalami gejala dan keluhan altitude sickness perlu dipindahkan ke tempat yang lebih rendah dahulu. Dengan begitu, keluhan dan gejala yang dialaminya dapat berkurang.

Dokter juga akan memeriksa saturasi oksigen pasien menggunakan pulse oximeter dan tes analisis gas darah.

Jika gejala yang dialami pasien tergolong parah, dokter akan melakukan pemindaian dengan CT scan dan MRI untuk melihat kemungkinan adanya penumpukan cairan di otak pasien.

Pertolongan Pertama pada Altitude Sickness

Segera turun atau bawa penderita ke tempat yang lebih rendah. Penting untuk diingat, jangan mencoba mendaki lebih tinggi lagi meskipun gejala yang dialami tergolong ringan.

Sambil membawa penderita turun ke tempat yang lebih rendah, ada sejumlah langkah pertolongan pertama yang dapat dilakukan untuk meredakan gejala altitude sickness, yaitu :

1.      Longgarkan pakaian penderita dan beri ruang yang cukup agar penderita bisa bernapas dengan normal.

2.      Pastikan penderita minum banyak air putih untuk mencegah dehidrasi.

3.      Jangan memberikan minuman beralkohol atau obat tidur kepada penderita.

Jika penderita sedang berada di gunung dan kondisinya tidak memungkinkan untuk turun, hubungi petugas evakuasi untuk membawanya turun.

Sambil menunggu pertolongan datang, jaga suhu tubuh penderita agar tetap hangat, batasi aktivitas fisiknya, dan biarkan ia beristirahat.

Pencegahan Altitude Sickness

Cara terbaik untuk mencegah altitude sickness adalah dengan aklimatisasi, yaitu memberikan waktu bagi tubuh untuk beradaptasi dengan kondisi di ketinggian. Cara-cara tersebut adalah sebagai berikut :

1.      Melakukan pendakian secara bertahap, tidak lebih dari 300 meter per hari.

2.      Beristirahat 1-2 hari tiap mendaki jarak 600 meter.

3.      Beristirahat secara berkala jika mendaki gunung dengan ketinggian lebih dari 2.400 mdpl.

4.      Berlatih sebelum melakukan pendakian gunung dan pastikan mampu serta sudah berlatih untuk menuruni gunung dengan cepat.

5.      Mengonsumsi makanan dengan kandungan karbohidrat tinggi dan banyak minum air putih untuk mencegah dehidrasi.

6.      Tidak merokok, mengonsumsi minuman beralkohol atau berkafein, atau menggunakan obat tidur saat mendaki gunung.

7.      Menjalani pemeriksaan kesehatan ke dokter sebelum mendaki gunung, terutama jika belum memiliki pengalaman mendaki sebelumnya.

 

Referensi :

Dwitya Elvira. 2015. High Altitude Illness. Jurnal Kesehatan Andalas, Universitas Andalas Padang.

Williamson, J., Oakeshott, P., & Dallimore, J. 2018. Altitude Sickness and Acetazolamide. British Medical Journal, 361.

Centers for Disease Control and Prevention. 2019. Traveler’s Health. High Altitude Travel & Altitude Illness.

National Institutes of Health. 2021. MedlinePlus. Acute Mountain Sickness.

American Academy of Family Physician. 2020. High-Altitude Illness.

Cleveland Clinic. 2020. Disease & Conditions. Altitude Sickness.

Emedicine Health. 2022. Altitude Sickness (Mountain Sickness).

MedicineNet. 2021. When Should You Go to the Doctor for Altitude Sickness?